LABEL

KARTUN (87) KARIKATUR (40) ILUSTRASI (28) POSTER (25) PENSIL (21) klaten komik (20) WS RENDRA (10) SKETSA (7) TULISAN (6) YANG (6) PUISI 2 (5) PUISI (4) KAOS T SHIRT (2)

untuk anak neger

Jumat, 20 Februari 2009

Bukan Kesesatan Benar Menusuk Kalbu

Bukan Kesesatan Benar Menusuk Kalbu
Contributed by Emha Ainun Nadjib
Thursday, 08 May 2008

Jangankan menjadi Nabi: jadi manusia saja, siapa yang
benar-benar lulus? Alangkah mengagumkan
sahabat-sahabat yang gagah menyertakan kata Ulama,
Kiai, Ustadz, Syekh, Maulana, di depan namanya. Yang
tanpa hati ragu memakai surban di kepalanya,
mengenakan jubah semampir pundaknya, terlebih lagi
rangkaian butir tasbih di jari-jemarinya. Apakah
beliau sangat meyakini diri, ataukah setiap kali perlu
meyakin-yakinkan diri.


Adapun ilmuwan, cendekiawan, seniman, budayawan,
Begawan, Undagi, Ulil Abshar, Ulil Albab, Ulin Nuha,
terlebih lagi wadag-wadag seperti Profesor, Doktor,
Profesional, Pejabat, Presiden: di satu sisi itu
adalah perjalanan kebenaran dan kemuliaan, di sisi
lain itu adalah "mata'ul ghurur", perhiasan dunia,
serta "la'ibun wa lahwun", permainan dan senda gurau.


Pakai common sense saja: adakah kaki telah melangkah
sebagaimana yang dimaksudkan dulu oleh Peciptanya.
Adakah tangan telah mengerjakan mendekati gagasan
Pembikinnya. Adakah mata telah melihat, telinga telah
mendengar, akal telah mengolah ilmu dan wacana, mulut
telah memakan segala sesuatu yang dulu merupakan visi
missi Pihak yang merancangnya.


Kata Islam, seseorang adalah Nabi karena nubuwah.
Adalah Rasul karena risalah. Adalah Wali karena
walayah. Dan adalah manusia karena khilafah. Keempat
'ah' itu milik Allah, dilimpahkan alias diamanahkan
kepada makhluk dengan strata dan kualitas yang Ia
bikin berbeda, dengan Ia siapkan tingkat 'human and
social penetration' yang juga bertingkat-tingkat.


Khilafah itu titipan atau pelimpahan bagi semua dan
setiap manusia: tidak relevan, tidak rasional dan
tidak realistis dan a-historis untuk diambil sebagai
'icon' suatu golongan. Begitu engkau bukan dimaksudkan
Tuhan sebagai Malaikat, Iblis, Jin, hewan atau alam,
maka engkaulah Khalifah yang menyandang khilafah.


Secara simbolik-dinamik sering saya memakai idiom
persuami-istrian. Sebagaimana Allah 'memperistri'
makhluk-makhlukNya, lelaki 'memperistri' perempuan dan
Pemerintah 'dipersuamikan' oleh rakyat -- maka ummat
manusia dinobatkan menjadi 'suami' bagi alam semesta.
Tugasnya adalah menghimpun ilmu, melakukan pemetaan,
menyusun disain dan methodologi, menggambar dan
mensimulasikan sistem dan managemen untuk memproduksi
"rahmatan lil'alamin".


Sejarah ummat manusia di muka bumi telah mencatat
peradaban-peradaban para suami istri itu dengan
penumpahan darah yang terlalu banyak, dusta dan
peperangan yang selalu berlebihan, hipokrisi dan
kepalsuan yang bertele-tele, kebodohan ilmu dan
kemandegan akal yang amat memalukan, serta kekerdilan
mental dan kebutaan spiritual yang senantiasa
ditutup-tutupi dengan berbagai mode kesombangan yang
mewah namun menggelikan dan menjijikkan.


Manusia tidak bisa disebut pernah sungguh-sungguh,
konstan dan konsisten mempelajari Tuhan, setan,
demokrasi, nafsu, kebenaran, kemuliaan, dan terutama
mempelajari dirinya sendiri. Manusia melangkah
serabutan, berpikir sepenggal, bertindak instan,
menimbang dengan menipu timbangan, tetapi Tuhan
sendiri memang 'terlibat' dalam hal ini: "Inna
khalaqnal insana fil'ajal": sesungguhnya Aku ciptakan
manusia cenderung bersikap tergesa-gesa....


Sejarah sekolah dan universitas tidak pernah
benar-benar menyiapkan perjalanan tafakkur dan ijtihad
ummat manusia melalui tahap-tahap pola berpikir
linier, zigzag, spiral hingga thawaf siklikal.
Universitas hanya mewisuda Sarjana Fakultatif meskipun
kampusnya bernama universitas. Belum tuntas kaum muda
menjadi murid (murid: orang yang menghendaki ilmu),
dipaksakan naik ke bangku keangkuhan dengan menggelari
diri maha-siswa. Para pembelajar dan pencari ilmu
bersemayam di 'koma' -- begitu dia maha, finallah dan
titiklah sudah perjalanan ilmiahnya.


Di manakah pintu ilmu, babul 'ilmi? Di manakah kota
raya ilmu, madinatul 'ilmi? Siapa kaum terpelajar yang
tertarik pada idiom itu, apalagi menjelajahinya? Bagi
kaum muda Indonesia, cukuplah Thukul bagi mereka.
Sambil tiba-tiba menaiki 'maha'-kendaraan yang bernama
demokrasi, world class society, pilkada pemilu
pildacil, public figure, album 'religi', Majlis Ulama,
clean government, Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang semakin tak pantas menyandang nama itu, di tengah
lautan meluap, gunung meletus, bumi bergoyang-goyang
sampai ke urat syaraf otak manusianya.


Padahal kapasitas sistem syaraf otak manusia itu
takkan pernah sanggup dirumuskan atau dikuasai oleh si
manusia sendiri. Padahal pendaran-pendaran
elektromagnetik 'nur' Allah yang bertebaran bertaburan
keseluruh permukaan bumi, memusat menggumpal di
seputar bagian atas ubun-ubun kepala setiap manusia.


Abracadabra! Siapakah yang tak sesat di antara kita?
Makan saja sesat sampai ke propinsi kolesterol, asam
urat, jantungan, gagal ginjal, ganti hati dan stroke.
Kehidupan berbangsa dan bernegara kita adalah festival
demi festival kesesatan nasional. Pemilu salah pilih
wakil dan pemimpin. 220 juta manusia tersesat ke satu
lorong cita-cita: mau kaya, eksis dan berkuasa.
Jalannya beribu-ribu, profesinya berbagai-bagai,
icon-nya berjenis-jenis, namun menuju satu lorong itu
juga.


Kesesatan sistem. Kesesatan moral. Kesesatan budaya.
Kesesatan ilmu. Kesesatan bermacam-macam kesesatan,
dengan kadar yang juga berbeda-beda. Sesat moral atau
akhlak. Sesat fiqih atau hukum. Sesat sosial. Setiap
keputusan ekonomi yang menjerumuskan orang banyak,
policy politik yang kontraproduktif terhadap keharusan
kemajuan dan pembangunan, adalah - pinjam bahasa Tuhan
- "dhulmun 'adhim", kesesatan yang nyata.


Sesat di segala wilayah: perda, perpres, perdes, di
rumah tangga, perusahaan, di jalanan. Khalifah Umar
bin Abdul Aziz menangis membentur-benturkan kepala ke
lantai, bersujud mohon ampun kepada Allah, 'hanya'
karena seekor onta terpeleset di jalan di wilayah
pemerintahannya. Sementara dalam kehidupan kita jumlah
penganggur bertambah puluhan juta tak ada yang merasa
bersalah, dilemma kesengsaraan ribuan penduduk bawah
jalan tol belum beres, pemimpinnya tega nampang
mencalonkan diri akan jadi Presiden.


Dan sama sekali tak bisa kita simpulkan bahwa
berbagai macam kesesatan yang sedang kita alami atau
sedang menimpa mayoritas bangsa kita kalah berbahaya
dibanding yang kita ributkan dengan kesesatan
AlQiyadah.


Hanya saja AlQiyadah menyentuh wilayah 'pamali',
'sirik', 'wadi', 'jimat' hatinya ratusan ribu orang.
Yakni aqidah. Teologi. Wacana sangat privat yang sudah
lebih mendalam di lubuk jiwa -- meskipun mungkin
karena saking mendalamnya maka susah diaplikasikan
keluar diri manusia untuk menjadi kebaikan sosial
bersama. Andaikan AlQiyadah mengajak korupsi, ia pasti
terpuji dan ke mana-mana pasti banyak kawan. Andaikan
AlQiyadah memakai tabir Parpol, segera para pencoleng
akan berkumpul mengerumuninya. Sebab bagi cara
berpikir keagamaan umum: parpol, uang, korupsi,
keculasan -- itu tidak sealamat dengan Allah dan Nabi
Muhammad.


Diam-diam saya pribadi menemukan bahwa alhamdulillah
kesesatan-kesesatan hidup saya tidak diketahui umum
atau pihak yang berwajib. Saya mohon dengan sangat
bagi teman-teman yang tahu bahwa selama ini saya
mendayung perahu hidup saya di aliran-aliran sesat
karena tidak umum dan bukan mainstream: hendaklah tak
usah melaporkan kepada MUI dan Pemerintah.


Itu semua karena sampai usia menjelang 60 th Allah
memperkenankan saya menjadi penduduk yang tak
diperhatikan, tak didengarkan, tak dianggep, selalu
diletakkan di luar garis-garis pemetaan dlam hal
apapun saja. Segala yang saya dan kami lakukan, rekor
apapun yang pernah kami capai, ke benua dan kota-kota
besar dunia belahan manapun kami mengibarkan Merah
Putih, dengan berapa ribu dan puluh ribu massapun saya
bercengkerama, prestasi dan kualitas apapun yang kami
gapai: saya dan kami tetap di luar peta.


Bahkan rasa syukur tertinggi saya adalah jika kelak
saya masuk sorga - sesudah lewat neraka: orang tetap
tidak percaya bahwa saya masuk sorga. Itulah sebabnya
pembicaraan di setiap forum selalu saya awali dengan
kalimat "Jangan percaya pada saya, percayalah sama
Allah dan Muhammad". Saya merasa bodoh kalau saya
membaiat orang, karena dengan begitu aku yang
melegitimasi kedudukanny, sehingga aku akan harus
turut bertanggujng jawab atas apa yang dilakukan oleh
orang yang saya baiat. Sedangkan di hadapan peradilan
Tuhan, tidak logis kalau aku bisa menolong anakku atau
aku bisa ditolong istriku. Tidak ada orang disumpah
atau disyahadati, yang ada adalah orang bersumpah atau
bersyahadat dengan dirinya sendiri.


Saya tidak pernah mengakui diri saya sendiri, karena
yang substansial adalah pengakuan Allah atasku, jika
hal itu sekarang atau kelak mungkin terjadi. Saya
tidak tega dan geli kalau orang menjadikan saya
sebagai panutan, menyebut saya Ustadz, Kiai, bahkan
ada spanduk berbunyi "Selamat Datang KH Emha Ainun
Nadjib". Ya Allah lucunya.


Maka tak pernah ada keberanian pada diri saya untuk
mengajak orang lain, apalagi untuk meyakini apa yang
saya yakini, untuk berpikir seperti saya berpikir,
untuk menganut apa yang saya anut. Setiap orang jangan
memandang saya. Pandanglah Allah, Muhammad, Yesus,
Budha, Sang Hyang Widhi: take it or leave it. Atau tak
usah memandang siapapun kecuali dirimu sendiri,
kepentinganmu sendiri, sebagaimana Firaun. Engkau
merdeka bahkan untuk menjadi Firaun. Itu urusanmu
dengan Tuhan dan dirimu sendiri, bukan dengan saya.


Semua Nabi dan Rasul, umpamanya Adam atau Yunus,
hanya berani menyebut dirinya dholim, "Robbana
dholamna anfusana", "Inni kuntu minadh-dholimin".
Maka siapakah aku, sehingga mantap untuk tak melihat
diriku tersesat? Kesesatan adalah milikku sehari-hari.
Oleh karena itu mengaku diri manusiapun rasa belum
pantas. Andaikanpun aku ini Ahlul Bait keturunan
Rasulullah SAW gabung dengan darah Brawijaya, pasti
kututupi sebagaimana kurahasiakan auratku.


Akan tetapi apakah saya menolak keseyogyaan dakwah? O
tidak. Saya seorang Da'i pelaku dakwah. Da'wah artinya
panggilan, yad'u artinya memanggil, pelakunya Da'i.
Menyapa. Memanusiakan. Meneguhkan bahwa yang selain
saya itu benar-benar ada. Da'wah itu panggilan pada
skala horisontal dengan sesama makhluk. Kalau
vertikal, dari kata yang sama menjadi du'a, bahasa
Indonesianya: doa, kata kerjanya juga yad'u, subyeknya
juga Da'i. Berdoa adalah menyapa Allah.


Kalau kita tiap saat minta-minta terus kepada Tuhan,
menurut suatu logika berpikir: tak akan lebih dikasihi
oleh Allah dibanding kalau kita rajin menyapaNya,
rajin 'gaul' sama Dia, 'mentuhankan' Tuhan sebagaimana
memanusiakan manusia. Tetangga lebih simpatik kepada
kita yang suka menyapanya dibanding yang sering
meminta-minta -- meskipun menurut pemahaman lain Tuhan
tidaklah sama dengan tetangga.


Pinjam puisinya Chairil Anwar: bukan kesesatan benar
menusuk kalbu, keridhaanmu menerima segala tiba, tak
setinggi itu atas debu, dan duka maha tuan bertahta....


Allah sendiri, Masya Allah memang Maha Menyesatkan.
Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah tak ada yang
bisa menyesatkannya, dan barang siapa disesatkan
olehNya tak seorangpun bisa memberinya petunjuk.


Aku yang kedua, Insya Allah Anda yang pertama. ***

PBCom
http://www.padhangmbulan.com Powered by Joomla! Generated: 27 May, 2008, 15:52

1 komentar:

David Pangemanan mengatakan...

PERADILAN INDONESIA AMBURADUL : INI BUKTINYA

Putusan PN. Jakarta Pusat No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan

demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini

telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru

menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan (karena terindikasi

gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran fidusia oleh Pelaku

Usaha). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
Quo vadis hukum Indonesia ??

David Pangemanan,
(0274)9345675

Blogger news

Blog Archive