Kekerasan Yang Mendarahdaging
Sekeras-kerasnya batu kali masih bisa hancur oleh hantaman godam yang terus menerus. Menghunjam pada satu titik pada batu kali tersebut. Kesabaran dan ketelatenan tenaga si pemukul, dengan memperhatikan tekstur dari batu kali itu sendiri mampu untuk memecah bongkahan besar batu menjadi kepingan-kepingan.
Satu kali pukulan godam yang mengenai batu kali menjadi bekas yang berbentuk guratan atau retakan. Jadi, kalau arah pukulan tersebut secara kontinyu menghunjam pada satu titik yang sama, maka kemudian akan semakin menambah lebar retakan di batu tersebut. Dan tidak mustahil dengan dua atau tiga kali pukulan seorang pemecah batu yang berpengalaman, mampu memecahkan bongkahan batu dalam waktu yang relatif singkat. Dengan lamanya jam terbang bekerja sebagai pemecah batu, sangat mengenal bentuk dan jenis batu, juga alur atau teksturnya, sampai mengetahui tingkat kekerasan batu yang akan di pecahnya.
Kemampuan mengilmui setiap jenis batu selama menjalani pekerjaan memecah batu diperoleh secara alami. Nalurinya mampu untuk membaca dan memperhitungkan, kemana mata godam diarahkan. Atau titik mana yang merupakan simpul serat batu tersebut. Seberapa tenaga yang dikeluarkannya, dan semua itu berjalan dengan terukur. Antara batu dan si pemecah batu seperti sudah menjadi satu daging dan darah. Menyatu, sudah tidak ada lagi jarak atau tabir.
Kemampuan untuk mengukur dan menakar ini mungkin yang tidak kita miliki di dalam mengelola kehidupan. Baik sebagai pribadi, kelompok belajar, paguyuban arisan, atau di tingkat organisasi yang lebih formal. Sehingga kita merasa tetap nyaman dan sangat menikmati berbagai bentuk kekerasan yang melingkari diri kita. Adanya korban jiwa dalam peristiwa demontrasi pun kita anggap sebagai pembelajaran berdemokrasi. Seperti sudah menjadi kesepakatan bersama, bahwa akibat dari belajar demokrasi adalah kekerasan dan timbul korban . Jadi, banyaknya kekerasan di negeri ini merupakan bukti atau cermin dari keberhasilan hidup berdemokrasi, atau semakin banyak korban jiwa, semakin menambah kesuburan tanaman demokrasi .
Kekerasan sudah tidak lagi menjadi milik orang-orang yang dulu di anggap sebagai sampah masyarakat. Yang pejabat, mahasiswa, pelajar, karyawan swasta atau negeri, kaya atau miskin, juga sudah tidak lagi mengenal jenis kelamin. Bahkan merambah hingga mereka yang dianggap sebagai tokoh atau mempunyai pengaruh di masyarakat tidak luput menjadi incaran mahluk kekerasan ini.
Saling serang dan menyalahkan, saling tuding dan cuci tangan, serta saling-saling yang lain sebagai bukti pembenaran diri. Susah bagi kita untuk sekedar mengetahui kenapa, mengapa dan bagaimana kekerasan itu muncul?. Kekerasan sebagai bentuk dari ketidakmampuan kita manusia dalam mengukur dan menakar diri. Sebagai perwujudan atau cermin dari kemalasan pikir dan olah rasa kemanusiaan kita atau lunturnya empati.
Kita tidak mempunyai keberanian untuk mempelajari setiap halaman atau lembaran sejarah secara utuh. Kita penggal-penggal sejarah diri kita sendiri, sehingga sulit bagi kita untuk sekedar percaya, bahwa; - kita sedang memanen hasil dari benih-benih yang dahulu kita tanam.
Kekerasan batu, kekerasan nalar dan naluri kita, melingkar-lingkar, dan memantul-mantul kesetiap arah dan kita tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikannya…?
Ds.nugroho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar