Sabtu, 20 Juni 2009
pintu, maiyah bukan mazhab
Pintu, Maiyah bukan Mazhab
Ditulis oleh DS. Nugroho‚ Jumat, 02 November 2007 07:54‚ Opini - Esai
"Sing tak pengini kowe teko mrene iku mung siji, kowe biso duwe pikiran sing bening, lan ati sing resik. Yen kowe wis biso koyo ngono, kuwi pek’en kabeh aku ora arep njaluk", ungkap Cak Nun di penghujung acara Mocopat Syafaat. Atau kira-kira dua tiga kali kedatangan saya di mocopatan, sebelum pemikiran tentang maiyah. Ungkapan tersebut seperti magnet yang terus menerus menarik diri ini untuk senantiasa datang dan hadir di dusun Jetis, Kasihan Bantul.
Ibarat orang yang sedang bertamu, baru menginjakkan kaki di pelataran rumah, pintu sudah dibuka lebar-lebar. Dan di depan pintu, si empunya rumah sudah menunggu menyambut kedatangan kita. Tidak ada uluk salam, karena sudah terwakili dengan terbukanya pintu. Ucapan salam yang sesungguhnya adalah kepercayaan dan keyakinan si empunya rumah terhadap para tamunya. Sehingga sudah menjadi kelayakan atau kewajiban kita di dalam menjaga etika atau adab "per-tamu-an". Untuk tidak mengkhianati kepercayaan dan keyakinan si empunya rumah. Atau, masing-masing dari kita bertanggungjawab atas pilihan-pilihan kita di dalam bersikap. Tentu saja pilihan sikap yang didasar-landasi kebeningan pikiran dan olah resik dari kedalaman kandungan hati. Atau, bebarengan untuk senantiasa belajar membuat menjadi beningnya oikiran dan tetap istiqomah untuk reresik kandungan hati.
Lalu perlahan-lahan konsep tentang "tamu dan tuan rumah" di acara Mocopat Syafaat "dihilangkan". Atau dibuat menjadi sempit jaraknya. Dan tumbuh menjadi keluarga maiyah, seiring dengan pemikiran tentang Maiyah. Jadi itulah yang saya katakan maiyah sebagai pintu, pintu yang terbuka. Dan tinggal bagaimana kita bersikap terhadap pintu yang sudah terbuka. Sumangga kersa!!
"Bebarengan atau bersama-sama belajar untuk membeningkan pikiran dan membersihkan hati". Ungkapan Cak Nun yang membuat diri ini untuk selalu berusaha hadir disetiap mocopatan. Sebagai ajakan untuk berintrospeksi diri. Membangun dan mengembangkan kesadaran diri untuk merdeka memakanai hidup. Untuk metani dan belajar bersikap.
Karena, Maiyah hanyalah pintu. Untuk terbukanya kebuntuan atas pilihan sikap dan cara pikir. Jadi, Maiyah bukanlah mazhab. Aliran apalagi sebuah organisasi massa Islam yang besar, lalu mempunyai alasan untuk membuat aturan untuk menjadi hakim. Karena tumbuhnya Maiyah bukan dan tidak untuk tujuan yang remah seperti itu. Bukan untuk menjadi siapa, tetapi apa yang sudah, sedang dan akan kita kerja lakukan. Sebuah proses yang terus menerus.
Justru Maiyah merupakan cara pandang untuk nggathukk'e dan menemukan ketepatan dan keteraturan bentuk. Membuat menjadi pupusnya ketidak dewasaan dalam berpikir dan bersikap. Membuka pintu untuk mencari dan merumuskan kemudian menemukan formulanya. Maiyah hanyalah pintu untuk menggugah kesadaran pikir dan kelelapan hati yang tertidur. Kesederhanaan dan kebersahajaan di dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Lantas tinggal sikap kita bagaimana, purun napa mboten, yes or no? Mau atau tidak.
Karena, Maiyah bukanlah mazhab. Maka orang-orang Maiyah harus mempunyai kewaspadaan. Sebab, Maiyah bukanlah harga mati. Atau bukan merupakan bentuk akhir. Toh kalau memang Maiyah itu adalah bentuk akhir sebuah nilai, bukanlah pada kuantitas titik pentingnya. Namun, justru bagaimana kita, sikap orang-oran Maiyah di dalam berproses menjalani laku atau bermaiyah. Maiyah adalah sebuah proses kebersahajaan dan kesederhanaan perjalanan hidup. Untuk berusaha belajar sadar, dan menjadi lebih berkualitas. Sudah semestinya kita orang Maiyah melapangkan hati dan pikiran. Karena Maiyah merupakan metode pembelajaran untuk me-merdeka-kan akal pikiran.
DS Nugroho, tinggal di Klaten.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar