LABEL

KARTUN (87) KARIKATUR (40) ILUSTRASI (28) POSTER (25) PENSIL (21) klaten komik (20) WS RENDRA (10) SKETSA (7) TULISAN (6) YANG (6) PUISI 2 (5) PUISI (4) KAOS T SHIRT (2)

untuk anak neger

Rabu, 13 Juni 2012

Kentut dan Martabat Manusia?



 Kentut dan Martabat Manusia?

Bukan berarti kalau bunyi yang di hasilkan terdengar keras, atau dari dahsyatnya aroma yang singgah di udara hingga terhirup di dalam hidung, lantas disebut sebagai manusia bermatabat tinggi. Pun sebaliknya jika tidak mengeluarkan bunyi tetapi aromanya tetap mampu mengusik kenyamanan hidung disaat bernafas disebut sebagai pihak yang bermatabat di bawahnya. Jadi keras tidaknya bunyi yang ditimbulkan, atau bau dan tidaknya aroma yang dihasilkan, bukan, dan tidak menjadi pedoman akan keberadaan martabat seorang manusia. Lantas?

 Belajar dari sebuah riwayat, ketika sedang di dalam suatu majelis Rasulullah saw, tiba-tiba suasana menjadi gaduh. Suasana yang semula kusyuk terusik oleh datangnya “tamu” yang tidak kulo nuwun, hadirnya aroma khas atau gas buang tubuh yang menyelinap masuk di setiap hidung hadirin. Bisa dibayangkan, wajah-wajah yang semula tenang berubah menjadi saling pandang dengan sorot mata saling curiga. Bahkan bisa jadi kalau ia seorang lelaki jantan pun di buat keder , dan akan tetap diam untuk menjaga atas kejantanannya atau jaim (jaga image). Apalagi kalau ia adalah seorang perempuan yang berparas elok, sikap samapun akan dilakukan sebagaimana sikap seorang pria jantan tadi.

 Lantas Rasulullah saw berkata, “ Barang siapa yang sehabis atau baru saja memakan daging unta, segera mengambil air wudlu.” Kemudian satu persatu beranjak berdiri meninggalkan tempat duduk untuk bersuci. Setelah semua selesai bersuci dan duduk di tempat semula, suasana kembali hening dan majelis pun kembali berlangsung. Dalam riwayat ini satu hal pembelajaran yang dapat kita ambil adalah, pilihan kalimat yang di ucapkan Rasulullah saw. “ Barang siapa yang sehabis atau baru saja memakan daging unta, segera mengambil air wudlu.” Kalimat yang tidak menuduh individu dalam sebuah kelompok atau majelis. Akan lain kejadiannya jika saja kalimat yang diucapkan beliau, suatu misal, “Siapa yang kentut , segera bersuci ?” Dan bisa dipastikan tidak akan ada yang membantah atas ucapan itu sebab rasa cintanya terhadap beliau. Lalu, salah satu dari yang duduk di dalam majelis akan berdiri dan kemudian mengaku, bahwa ialah pemiliknya atau pelakunya, atau orang yang kentut. Dengan wajah yang menahan rasa malu, kemudian menunduk kepalanya lalu berdiri, dan berjalan perlahan menuju tempat berwudlu. Lebih memprihatinkan lagi kembali pulang dan tidak melanjutkan pertemuan di majelis karena saking malunya. Tetapi itu tidak dilakukan olehnya.

Sebab, beliau mengetahui dan mengerti betul apa yang dikerjakan umatnya. Bahwa sebagian dari jamaah di majelis tersebut baru saja selesai memakan daging unta. Jadi sangat jelas kelembutan hati beliau, kecerdasan dalam bergaul bersama umatnya. Atas pilihan kalimatnya, “ Barang siapa yang sehabis atau baru saja memakan daging unta, segera mengambil air wudlu.”Karena beliau tidak ingin satu saja dari umatnya menjadi malu atau mempermalukannya.

Martabat atau nguwongke atau tidak mempermalukan seorang manusia di hadapan atau didepan manusia lainnya. Keluarnya gas buang atau kentut yang merupakan sunnatullah dalam majelis tersebut menjadi media belajar. Atau pilihan sikap kita didalam pergaulan kehidupan bermasyarakat.
Apalagi di masa-masa sekarang ini. Kecenderungan yang serba instan atau tergesa-gesa, cepat menuduh dan mengambil kesimpulan. Di era keterbukaan dan tanpa disadari mengabaikan norma yang melukai martabat manusia.

 Salam…..hanya sebuah catatan kecil dari desa di klaten

ds.nugroho Klaten, 13 juni 2012.

Tidak ada komentar:

Blogger news

Blog Archive